HAK BERPENDAPAT Vs MARTABAT PRESIDEN

 (Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006)

Oleh: Setia Darma, SH.

Hak atas kemerdekaan (kebebasan) menyatakan pendapat (freedom of opinion and expression) merupakan hak asasi yang sangat penting dan hal tersebut dilindungi sebagai hak konstitusional semua warganegara RI. Namun ketika pada prakteknya, hak berpendapat dianggap melukai martabat Presiden atau sebaliknya, aturan mengenai Martabat Presiden dianggap menciderai hak konstitusional warganegara untuk mengemukakan pendapat, haruskan salah satunya dieliminir?. Tidakkah sepantasnya sebagai norma keduanya harus dipandang dalam kontek sosial yang melindungi nilai-nilai tertentu?.

Ketika pada prakteknya, keduanya terlihat bertentangan, maka seharusnya mereka dipandang sebagai dua nilai yang saling mengawal dan menjadi penyeimbang masing-masingnya.

Lalu bagaimana dengan putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang kemudian mengeliminir norma dalam KUHP yang mengatur mengenai perlindungan terhadap martabat presiden karena dianggap melanggar hak konstitusional warga negara?.

Konstitusi NRI mengatur bahwa Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, Presiden secara sosial  diakui sebagai penguasa yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengeluarkan kebijakan, menyatakan perang, membina hubungan dengan Negara lain dan sebagainya. Kewenangan tersebut tidak akan dipertanyakan oleh masyarakat, secara internasional sekalipun sebab ketika ia secara yuridis dan politis dinyatakan sebagai Presiden RI, maka secara mutatis mutandis diikuti dengan kewenangannya sebagai Presiden dan iikuti dengan pengkuan secara sosial mengenai keberadaan dan kewenangannya itu.

Sebagai Negara Republik, orang nomor satu di Indonesia adalah Presiden yang melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya sesuai dengan konstitusi. Sebagai orang nomor satu di Negara demokratis yang menganut pemilihan langsung, Presiden RI secara politis dan secara sosial menurut ukuran umum masyarakat Internasional ia adalah representasi Bangsa Indonesia. Secara yuridis menjadi keharusan baginya untuk diposisikan sama dalam hukum, keberlakuan aturan dan penegakannya, namun secara politis dan sosial tidak dapat dikatakan sama. Sehingga menjadi keharusan pula baginya untuk mendapat perlindungan lebih secara yuridis dalam posisi dan kewenangannya sebagai representasi bangsa. Maka menjadi tidak relevan justru ketika ia harus dipersamakan secara umum dengan mengeneralisasikannya sebagai salah satu warganegara RI yang sama dengan warganegara RI yang lain.

Putusan MK No 013-022/PUU-IV/2006 mengenai pengujian KUHP Pasal Pasal 134, 136 bis dan 137 tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD NRI Pasal 28E Ayat (3) selayaknya dikaji ulang dalam perspektif politik dan sosial, tidak hanya mengandalkan teori-teori tentang HAM dalam kerangka individual.

Dalam kerangka sejarah Pasal mengenai penghinaan terhadap martabat presiden diatur untuk melindungi raja/ratu dan keluarganya dari penghinaan yang merendahkan martabat mereka, namun Pasal ini tidak kehilangan relevansinya dalam kerangka negara demokratis. Sehingga ia menjadi sebuah keharusan untuk tetap mengikat.

Penghinaan terhadap Martabat Presiden haruslah dipandang sebagai bentuk kebijakan yang melindungi Negara dari celaan sosial dan melindungi dari serangan politik yang secara sosial akan mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Penghapusan terhadap pasal ini justru akan melahirkan subsosialitas yang menurut Jan Remmelink akan menjadi kegelisahan dan penyebab terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Menurut remmelink: “perbuatan melawan hukum ikhwalnya berkenaan dengan ketidakadilan, dalam hal kesalahan, ikhwalnya adalah ketercelaan; dan berkenaan dengan subsosialitas, ikhwalnya adalah  risiko bahaya yang dimunculkan oleh pelanggar hukum terhadap kehidupan kemasyarakat”( Jan Remmelink, Hukum Pidana komentar atas pasal-pasal terpenting dari KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta), hal. 194

Artinya, potensi resiko yang akan dimunculkan oleh pelanggar hukum dalam kehidupan bermasyarakat haruslah dipandang sebagai salah satu obyek yang perlu diatur oleh hukum untuk menciptakan tertib sosial dengan kehati-hatian yang obyektif. Karena pada dasarrnya untuk mencegah timbulnya akibat atau resiko yang tidak diharapkan bagi masyarakat hanya dapat dicapai oleh pembuat undang-undang dengan cara melarang atau mengharuskan tindakan tertentu yang berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan pandang-pandangan manusia yang melakukannya harus ia pertanggungjawaban.

Pengaturan mengenai perlindungan terhadap nama baik peresiden seyogyanya dipandang sebagai kehati-hatian obyektif yang menjadi norma dengan batasan yang dibuat sedemikian rupa untuk tidak menimbulkan resiko tertentu.

Pengujian yang beralas hak pada kecenderungan yang salah pada penafsiran dan pelaksaannya tidaklah cukup menjadi alasan yuridis untuk dihapuskannya sebuah Pasal dalam Undang-undang, sebab dilihat dari keseluruhan posita dan petitum dari stackholder yang mengajukan  Yudicial Review, yang menjadi landasan sosiologis dilakukannya gugatan adalah adanya pelanggaran hak konstitusionalnya dalam penerapan Pasal tersebut. Penilaian terhadap penerapan pasal/ norma tidaklah sama dengan penilaian terhadap norma itu sendiri, artinya jikapun terjadi pelanggaran konstitusi karena penerapan norma, tidaklah membuat norma tersebut dapat dikatakan inkonstitusional sehingga pantas untuk dihapuskan. Tidaklah karena kesalahan seekor tikus yang memakan padi dilumbung padi, menyebabkan beralasan bagi dibakarnya lumbung tersebut.

Manifestasi terhadap perlindungan nama baik, tubuh, rumah tangga, harta benda dan lain-lain haruslah dimengerti dalam konteks sosial sebab hukum pidana memiliki tujuan tertentu dan mendukung nilai-nilai tertentu. Artinya, perlindungan terhadap martabat presiden harus pandang dalam konteks sosial, agar dapat dinilai dalam sudut pandang sosial yang meletakkan Presiden sebagai representasi bangsa sekaligus sebagai Penguasa yang pantas untuk ditaati dalam kerangka ketaatan berbangsa dan bernegara.

Dengan dihapuskannya Pasal tentang Penghinaan terhadap martabat Presiden, maka MK telah melepaskan diri dari kehati-hatian obyektif yang berpotensi bagi terjadinya pelanggaran dalam masyarakat yang secara sosial akan menimbulkan kegelisahan publik.

Sejatinya, kebebasan Pers atau/atau kebebasan dalam menyampaikan pendapat tidaklah sedemian rupa dipisahkan dari kepentingan Negara RI untuk melindungi kepala Negaranya dari celaan sosial yang tidak bertanggungjawab dan berpotensi pada pelanggaran hukum dalam masyarakat sekaligus juga berpotensi pada pelanggaran hak konstitusi presiden sebagai salah satu warganegara RI. Kebebasan dalam konteks sosial adalah kebebasan yang tidak diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya atau kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab dan kebebasan yang memperhatikan nilai-nilai moral dalam masyarakat.

Kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers seyogyanya adalah kebebasan yang beretika, tidaklah merupakan kebebasan yang diperbolehkan diwujudkan dalam bentuk celaan sosial atau dalam bentuk lain yang merupakan penghinaan terhadap martabat presiden. Demokrasi memang mengusung sebuah semboyan tentang kebebasan tapi tidaklah ia diceraikan dari etika dan moral begitu saja, ia tetap memiliki ikatan secara relevan dengan itu sebab demokrasi Indonesia adalah demokrasi pancasila yang mengusung kebebasan terbatas yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang bermartabat. Maka dalam konteks sosial Pasal 134, dan 136 bis KUHP tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden tidaklah dapat dikatakan inkonstitusioanl sehingga pantas dihapuskan, melainkan ia konstitusional dan pantas untuk dipandang penting keberadaan dan kekuatan mengikatnya.

Penghapus terhadap Pasal a qou menghilangkan perlindungan terhadap martabat Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang representatif tehadap bangsa Indonesia. Penghinaan terhadap martabat presiden disamakan dengan penghinaan terhadap warganegara biasa yang merupakan delik aduan, sebuah degradasi nilai yang luar biasa besar dalam aturan Pidana Indonesia. Sejatinya di Negara RI moral tidak dipisahkan dengan Hukum dan Demokrasi.